Jangan Jadi Penjajah bagi Makhluk Hidup Lain!

Barusan saya cek di Line Today dan beberapa akun di timeline Instagram, heboh temuan lubang (atau sarang?) ular sawa alias phyton di kawasan Teluk Selong Ulu – Martapura. Penasaran, saya baca artikelnya di Line sampai selesai, di Instagram saya tonton video berdurasi hampir 1 menit ketika orang-orang sedang mencoba keluarkan ular (yang ternyata ada dua ekor). Akhirnya sadar, “lho, kan ini lokasinya di sawah,” yang lokasi lubangnya agak ke pinggir jalan. Bukan di pemukiman padat penduduk.

Foto : dokumentasi pribadi – ular temuan di area kantor beberapa hari yang lalu (sengaja dimasukkan kandang, sampai petugas gedung dapat induknya)

Yang disayangkan, kenapa justru dipaksa dikeluarkan ular-ularnya? Lalu kalau berhasil dikeluarkan, mau diapakan? Diserahkan ke kebun binatang? Di lepas ke hutan? Atau bahkan dimatikan?

Jangan lupa, ular sawa juga bagian dari ekosistem, sebagai penyeimbang. Terutama di area sawah, yang biasanya berhama tikus. Trus, kalau ularnya dipaksa “pindah” dari rumahnya sendiri, siapa yang basmi tikus-tikusnya dari sawah? Sedangkan sawah dan hutan memang habitat asli dari si reptil itu. Tidak mengganggu, tentu juga tidak ingin diganggu. Lalu kenapa justru kita yang manusia ini ganggu? Di pikiran saya, ini sama seperti nyuruh ikan keluar dari sungai, biar sungainya bersih dan gak bau amis. Gak masuk akal kan? Nah itu maksudnya. “Mengusir” ular dari habitatnya juga adalah hal yang gak masuk akal. 

Saya mengerti, bahkan paham. Jika kehebohan ini sebagai bentuk keresahan masyarakat tentang banyak kasus ular memakan manusia di beberapa daerah. Tapi, bukan berarti kita dapat dengan seenaknya membumihanguskan tempat tinggal mereka. Ular dan manusia sudah hidup “berdampingan” sejak jaman dulu, ratusan, ribuan, bahkan lebih lama dari itu. Sudah ada tempat dan tugas masing-masing, jangan saling ganggu. 

Kita sendiri tahu, kasus ular memakan manusia mayoritas justru berawal dari perambahan hutan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi kebun kelapa sawit, atau mungkin juga pemukiman. Kalau ular-ular, para penghuni asli kawasan itu tergusur dari rumahnya, bagaimana mereka tidak marah? 

Lalu jika mereka muncul di pemukiman, yang dulunya memang rawa atau hutan, lantas kita boleh dengan seenaknya merusak sarang? Tentu tidak. Tante saya rumahnya bahkan seringkali “disambangi” ular sawa yang numpang bertelur di pekarangan belakangnya, atau sekadar mencari makan di rawa samping rumahnya. Sampai kadang ada pemancing yang justru dapat ular, bukan ikan. Tapi mereka mengembalikan ularnya ke lokasi yang seharusnya, tidak dibunuh. Sadar bahwa lokasi itu memang rumah si ular pada awalnya. 

Lalu mengapa kita tak pernah berpikir bahwa “invasi” ular-ular yang bermunculan di pemukiman atau menelan orang di kebun merupakan pertanda? Pertanda bahwa alam sudah rusak, bahwa kita, si manusia yang berakal dan berakhlak ini sudah semakin serakah. Yang tak dapat melihat sepetak tanah menganggur, langsung memikirkan ingin dibuat seperti apa, alasannya agak tak mubazir. Melihat hutan, sawah, dan ladang yang subur, masih saja berambisi membabat habis dengan alasan untuk perkembangan wilayah, agar kita tak tergerus dan terlupakan di era moderen ini. 

Padahal disitulah bentuk egoisme, tanpa memikirkan adanya makhluk hidup lain yang lebih berhak atas wilayah tersebut. Bukan cuma para ular, tapi juga hewan-hewan yang memang tinggalnya, habitatnya, adalah sawah dan hutan.

Jangan salahkan ketika habitatnya rusak, makanan jadi langka, dan akhirnya mereka masuk ke pemukiman. Yang mereka tuntut hanya keadilan, jika mengusir, menggusur, maka berikanlah kompensasi yang pantas. Bukankah seperti itu yang biasanya diucapkan oleh para pencari keadilan? Apakah hanya berlaku untuk manusia saja dan tak berlaku bagi hewan? Lagi-lagi egois. 

Duh, saya bukan pawang ular. Bahkan sama cicak saja takut. Tapi apakah hal itu dapat menjadi pembenaran bagi saya untuk mendukung orang membongkar sarang ular hanya untuk mengenyahkan mereka dari sekitar saya? Tentu tidak. Hanya orang-orang yang tidak punya belas kasihan rasanya, atau mungkin memang tak punya rasa perikebinatangan.

Pernah baca artikel beberapa waktu lalu tentang heboh seorang warga di Sumatera yang dapat menjinakkan ular King Kobra? Bayangkan! King Kobra, raja dari segala raja ular dengan bisa yang maha-beracun, dapat dijinakkan dan dipelihara, bahkan dipegang tanpa pelindung apapun. Sakti? Mungkin tapi aneh, namun nyata, pikir saya. Ternyata setelah ada sekelompok orang yang datang untuk memastikannya, baru ketahuan kalau si ular King Kobra sudah tak punya gigi taring lagi. Kalau tak punya taring, bagaimana dapat menggigit dan mengalirkan bisa ke korbannya? Tentu tak bisa. Ini justru ironis!

Ironis, di saat banyak pihak ingin perbaikan lingkungan dengan maksimal, masih ada orang yang merusak lingkungan dengan membasmi apa yang sebenarnya alami. Dengan dalih keamanan, lalu dengan mudahnya (dah hebohnya), membongkar paksa sarang ular. Tak patut.

Sekian.

Dari saya, Si Penakut Reptil, tapi paling hobi nonton Discovery Channel kalau nayangin ular dan buaya.

Banjarmasin, 15.04.17 – 10.55 PM

Leave a comment